"Tidak terasa sakit apa pun. Kata orang, sih, kecapekan saja. Tetapi, saya pergi juga ke dokter kandungan. Saya hanya diminta beristirahat dan diberi obat penguat kandungan,” ujarnya.
Kondisi Maya tak kunjung membaik. Seminggu kemudian perempuan itu malah mengalami pendarahan. Akhirnya, dokter mengatakan, janin sudah tidak ada dan rahimnya dikuret.
Misteri Keguguran Berulang
Lebih dari enam bulan setelah pengalaman itu, Maya kembali hamil. Kali ini tidak sampai tiga bulan kandungannya mengalami nasib sama. Maya dan suaminya kemudian memutuskan berkonsultasi ke klinik fertilitas. ”Saya ditanyai dengan detail riwayat kedua kandungan dan menjalani berbagai pemeriksaan, mulai dari tes darah umum hingga imunitas,” ujarnya.
Dari rangkaian pemeriksaan diketahui, darah Maya cenderung mudah mengental sehingga mengganggu kehamilannya.
Maya kemudian kembali mengandung dan kali ini dikawal dengan ketat dengan berbagai tes darah dan terapi. Setiap hari sang suami menyuntikkan obat ke perutnya.
Semakin dekat waktu persalinan hatinya harap-harap cemas. Betapa leganya hati Maya ketika sang bayi lahir dengan selamat. ”Itu benar-benar pengalaman yang sangat melelahkan secara fisik dan mental. Setiap kali menidurkan anak, saya suka bergumam, ’Aduh, susah sekali mendapatkan kamu, Nak’,” ujar Maya berbagi.
Keguguran juga dialami oleh Nia, teman sekantor Maya. Nia mengatakan tidak pernah tahu penyebab pasti keguguran yang dialaminya. ”Baru sekali saya mengalaminya. Dokter bilang, saya terlalu capek saja dan tidak ada penjelasan pastinya,” kata Nia, yang belum berniat mengandung lagi.
Investigasi keguguran
Gugurnya kandungan sering kali terkesan misterius, tidak terjelaskan. Bahkan, kerap dianggap hanya kebetulan. Padahal tidak selalu demikian. Menurut dr Kanadi Sumapraja, SpOG, MSc dari Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI RSCM, angka kejadian keguguran spontan di populasi berkisar 15-20 persen untuk seluruh kehamilan.
Keguguran berulang dapat menimbulkan tekanan mental dan trauma bagi pasangan yang mendambakan anak. Bagi perempuan, keguguran berulang memicu timbulnya rasa bersalah lantaran menganggap dirinya tidak mampu mempertahankan kehamilannya.
Kanadi mengatakan, seorang perempuan dapat disebut mengalami keguguran berulang jika mengalami keguguran sebanyak tiga kali atau lebih secara berturut-turut pada usia kehamilan kurang dari 24 minggu.
Namun, bagi Kanadi, investigasi penyebab keguguran sebetulnya dapat saja dilakukan setelah perempuan itu mengalami satu kali keguguran. Apalagi kalau pasangan itu mendambakan segera hadirnya keturunan.
”Kesannya baru setelah tiga kali mengalami baru boleh diinvestigasi. Padahal bisa sewaktu-waktu timbul masalah karena yang dipersalahkan kemudian perempuan,” ujarnya.
Jika dilihat dari usia kehamilan saat kejadian keguguran, keguguran dapat digolongkan menjadi keguguran preembrionik (terjadi di bawah usia kehamilan 6 minggu), keguguran embrionik (usia kehamilan 6-8 minggu), keguguran janin (usia kehamilan 8-12 minggu), keguguran janin lanjut (usia kehamilan 12-24 minggu).
Keguguran preembrionik dan embrionik banyak dihubungkan dengan kejadian kelainan kromosom, kelainan hormonal, gangguan endometrium, dan faktor imunologi. Adapun keguguran janin awal dan lanjut banyak dikaitkan dengan kelainan sindrom antifosfolipid dan trombofilia.
”Oleh karena itu, sangat penting mengetahui usia kehamilan saat keguguran terjadi, hasil USG sebelumnya, hingga struktur janin, misalnya, sudah kelihatan detak jantungnya atau belum,” ujarnya. Berbekal pengetahuan awal tersebut dapat diketahui kategori keguguran dan bisa membantu arah investigasi atau pemeriksaan dokter.
Pengentalan darah
Terdapat berbagai kemungkinan penyebab keguguran. Bahkan, terdapat keguguran yang tidak dapat dijelaskan. Untuk mengetahui secara pasti diperlukan pemeriksaan intensif.
Sejauh ini dr Karnadi mengatakan, hasil studi sejumlah peneliti memperlihatkan bahwa kelainan genetik, anatomi pada rahim, sindrom antifosfolipid, serta trombofilia memiliki hubungan yang kuat dengan keguguran.
Diperkirakan 7 persen-25 persen penderita keguguran berulang memiliki asosiasi dengan sindrom antifosfolipid. Antibodi antifosfolipid mempercepat pembekuan darah dan memicu bekuan darah.
Keguguran karena sindrom fosfolipid diakibatkan oleh adanya trombosis atau pembentukan bekuan darah yang akan menyumbat aliran darah plasenta. Akibatnya, bayi tidak mendapatkan nutrisi dari darah, kurang bertumbuh atau kecil, dan kemudian meninggal.
Pada kasus keguguran berulang yang demikian penggunaan heparin, senyawa untuk mencegah terjadinya bekuan darah, telah lama dikenal.
Efek terapeutik heparin pada kasus keguguran berulang yang diakibatkan sindrom antifosfolipid tidak hanya disebabkan efek antikoagulan atau pengenceran darah. Namun, juga karena adanya efek lain. Ternyata, heparin juga memiliki efek menghambat pengikatan antibodi fosfolipid, memicu terjadinya efek antiradang, dan memfasilitasi proses implantasi plasenta.
”Pengalaman traumatik keguguran tak perlu terulang,” ujar Kanadi. Jika diinvestigasi dan diketahui penyebabnya lalu diberikan terapi yang tepat, perempuan yang kerap mengalami keguguran dapat melahirkan bayi dengan selamat dan sehat. ( kompas.com )
No comments:
Post a Comment